Episode 2
"Keringat"
Keesokan Harinya, Minggu 23 Oktober 2022
Pukul 05:12
"Hoahmmm ..." - aku menguap
Aku terbangun. Kulihat jam menunjukan jam lima lewat.
`Jam lima pagi apa jam lima sore ini` - gumamku
Aku mengumpulkan nyawa beberapa menit lalu berjalan sempoyongan menuju jendela balkon. Kubuka sedikit gorden jendela.
"Wah. Jam lima pagi rupanya. Dua belas jam lebih aku tidur." - aku bicara sendiri
`Pantes lemes banget rasanya nih badan. Mana laper.`- aku berucap dalam hati
Setelah cuci muka sekedarnya dan gosok gigi, lalu ganti baju menjadi kaos putih oblong dan celana pendek warna biru tua (tanpa celana dalam) aku keluar kamar hendak menuju dapur. Perut sudah keroncongan. Saking lelahnya kemarin, aku sampai tidak sempat mengganti baju. Ini pun ganti baju tanpa mandi. Walaupun gak mandi, badan tetap gak bau asem karena nyaris tidak keringetan karena gak terpapar sinar matahari langsung alias selalu kena AC.
Aku mengingat - ingat posisi rumahku. Rumah ini kelewat luas memang. Jadi aku harus membiasakan diri kembali dengan situasi rumah.
`hmm.. dapur di lantai satu kalo gak salah inget..` - aku bergumam
Saat menuju tangga ke lantai satu aku melewati kamar - kamar.
Kamar pertama tertutup rapat, aku iseng dorong, ternyata tidak terkunci. Kulihat dua orang laki - laki tidur.
`Oh. Ini kamar pegawai laki - laki. Berarti itu Pak Surya dan Mas Bantam yang lagi tidur.` - pikirku
Kamar kedua tidak tertutup rapat. Iseng kubuka kamar, ada seorang perempuan yang tidur di kamar.
Aku mikir, itu siapa ya? Siapa aja pegawai cewek yang tinggal di sini ya? Kalau lebih dari satu, terus yang lain kemana ya?
Kamar memang gelap, namun karena cahaya dari lorong jalan, aku samar - samar bisa melihat sosok perempuan yang lagi tidur.
Rambutnya lurus, rada bergelombang. Rambutnya panjang, panjang banget malahan terus dikuncir kayanya. Badannya kurus, mungkin agak tinggi. Setinggi mamih mungkin. Tapi beratnya palingan 44 atau 45 kg, pikirku. Karena gelap, warna kulitnya gak terlalu bisa diperkirakan, tapi yang pasti gak item - item banget terawanganku. Sawo matang atau cokelat kayanya, yang pasti gak putih. Jadi model aja mah masih mungkin kayanya.
'kruukk.. krukk..' - perutku berbunyi lagi
Kututup pintu kamar tersebut. Seingatku di lantai ini ada dapurnya juga. Aku bergegas kesana.
Sesampainya di dapur lantai dua. Aku melihat seorang perempuan sedang sibuk di dapur. Perempuan bertubuh gempal. Badannya agak pendek 150 atau 155 cm lah maksimal. Badannya gemuk, perkiraanku diatas 65 kg pasti beratnya. Bisa 70an kg malahan. Kulitnya juga gak putih, sawo matang mungkin. Tapi memang aku gak fokus memperhatikan juga. Dia membelakangiku, dari belakang terlihat dia mengenakan baju tidur model daster yukensi tanpa lengan motif bunga. Bokong semoknya menonjol menantang. Rambutnya panjang tapi gak sepanjang cewek yang di kamar. Sekilas keliatan rambutnya ada highlight warna rambut, mungkin dulu diwarnain atau entahlah. Gak begitu menarik sih. Apalagi di kondisi lapar begini.
"Ehem" - aku berdehem
Sontak dia terkaget. Lalu berbalik badan menghadapku.
"Eh. Aden.. Mas Santo. Udah bangun toh. Kenapa mas?" - ucap perempuan ini
"Hemm.. eh.." - aku berdehem kebingungan
"Larsih Mas. Masa gak inget." - katanya tiba - tiba, sepertinya tahu aku bingung mengingat namanya
"Iya Bik Larsih.. Maaf rada - rada lupa, plus baru bangun tidur gini. Belum ngumpul nyawanya." - kataku
"Hm.. anu Bik.. saya lapar.." - lanjutku
"Nggih Mas.. Mau dimasakin apa? Ada bakwan goreng jagung, tinggal digoreng. Terus masih ada sop yang dimasak semalam. Kalau nasi, saya barusan masak, bentar lagi matang mas. Atau mau dimasakin yang lain? Tapi mesti nunggu lama mungkin." - Bik Larsih menjelaskan
"Yaudah gpp Bik. Itu aja. Panasin sop, gorengin bakwan 4 aja. Sama bikin telor dadar ya dua deh buat tambahan." - kataku
"Nggih Mas.." - jawab Bik Larsih
Yahh begitulah. Meskipun ini di Manado, namun Bik Larsih adalah perempuan dari tanah Jawa. Jadi tutur, sikap dan tingkah lakunya pun selayaknya perempuan Jawa.
Aku lantas duduk dan menunggu di meja makan. Walaupun ini dapur kecil, tapi tetap ada meja makan muat empat orang untuk makan.
Tidak ada yang menarik yang perlu diceritakan. Setelahnya aku makan, selesai makan aku gak balik tidur lagi. Gak lama setelah itu aku mandi kemudian ganti baju memakai kaos merk ReeF warna biru tua andalanku serta celana pendek bahan jeans (kali ini pake celana dalem, ya gak mungkin juga keliaran di rumah gak pake celdam kan). Pake deodorant terus parfum dikit - dikit. Lalu aku turun ke lantai satu.
Waktu sudah menunjukan Pukul 06:48
Aku melihat mamih sedang sarapan bersama di meja makan lantai satu.
"Pagi mih, pih.." - sapaku sembari mencium pipi kedua orang tuaku
"Loh. Kok udah bangun nak? Terus kok udah rapih gitu? Mau pergi? Udah makan? Sarapan dulu." - ucap mamih bertubi - tubi
"Iya mih, udah bangun Dari jam 5an. Udah sarapan juga di lantai dua tadi disiapin Bik Larsih. Abis itu mandi biar seger. Gak pergi kemana - mana mih. Ini biar seger aja." - jawabku berturut - turut
"Oh yaudah kalo gitu.." - kata mamih
Papih udah rapih dan sembari sarapan, Beliau tampak sibuk dengan handphonenya. Mungkin ngurusin kerjaan, namanya juga pengusaha, pikirku.
Di meja makan ini, mamih yang banyak mengobrol denganku. Seakan gak pernah cukup juga untuk mengganti waktu hampir empat tahun dimana kami tidak bertemu, mamih melemparkan pertanyaan seperti polisi sedang menginterogasi tersangka.
Aku menceritakan bagaimana kehidupanku selama tiga tahun hampir empat tahun tersebut. Ya seputar kampus, terus kerjaan aja sih. Terus juga gimana selama covid.
Mamih bertanya, aku menjawab. Selama aku menjawab mamih mendengarkan dengan seksama. Kalau papih, ya mungkin dengerin juga.
Tiba - tiba mamih bertanya,
"Terus pacarmu siapa nak sekarang? Orang Jepang? Atau orang kita tapi tinggal di Jepang?"
"Hah?" - reaksi pertamaku mendengar pertanyaan mamih
"Gimana mih?" - tanyaku kebingungan
"Iya nak. Pacarmu. Siapa sekarang?" - ulang mamih
"Gak mungkin dong kamu gak punya pacar. Kamu udah Sarjana. Duit pun ada hasil jerih payah sendiri. Kalau soal kerjaan disini, nanti tinggal bantu papih ngurus bisnis. Terus kamu udah ganteng sekarang, udah gagah. Masa iya kamu gak punya pacar nak?" - tanya mamih sambil memandangku dari atas ke bawah
`mamih ngeliatin gini, pasti ngeledek ini sih..` - pikirku
Kalau soal fisik, ya aku sih gak ragu ya. Bukannya sombong. Papih ganteng, mamih cantik. Kebayang dong aku kaya gimana. Kulitku putih. Badanku tinggi mungkin untuk ukuran Indonesia. Gak tau pastinya, kisaran 175 - 177 cm mungkin. Berat badanku ideal, 62 - 64 kg pas lagi kurus, 68 - 73 kg pas normal. Gak berotot banget kaya binaragawan, tapi lumayan lah, hasil olahraga rutin.
"Nanti deh mih, Santo belum kepikiran. Mau fokus karir sama bisnis aja, sekalian belajar dulu sama papih." - jawabku
"Karir dan bisnis kan bisa sembari jalan nak.." - ucap mamih
"Papihmu aja nikahin mamih pas umurnya 23 loh, kamu sekarang udah 24. Udah bisa lah sebenarnya. Atau mamih mau kenalin sama anaknya temen mamih? Kayanya banyak yang masih jomblo. Pasti mereka juga tertarik kalau ketemu dan ngobrol sama kamu nak." - ucapnya lagi
"Iya mih. Yaudah nanti aja dibahasnya lagi mih. - jawabku dengan nada sedikit kesal
"Iya.. iya.. Yaudah nanti biar mamih yang atur. Kamu kenalan dulu aja. Apapun kelanjutannya ya tergantung situasi nanti." - kata mamih
"Iya mih.." - jawabku
"Ohya. Kamu hari ini ada rencana kemana nak?" - tanya mamih
"Gak ada sih mih. Istirahat aja paling. Sambil bongkar barang bawaan. Besok - besok aja perginya." - jawabku
"Emang kenapa mih?" - tanyaku balik ke mamih
"Gapapa nak. Mamih suntuk di rumah. Pengen ajak kamu keluar. Jalan - jalan atau belanja gitu. Tapi kalau kamu mau rehat dulu gapapa. Besok aja kita atur lagi." - kata mamih
"Iya mihh...." - jawabku lagi dengan sedikit nada manja supaya mamih gak kecewa
Tak lama setelah itu papih sudah selesai sarapan dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Sebenarnya dengan posisinya, papih gak perlu sering - sering ke kantor. Beberapa pekerjaan bisa di-handle dari rumah. Tapi ya dasarnya workaholic plus papih juga senang mengobrol perihal bisnis dengan rekan - rekan serta mitra bahkan karyawannya. Jadilah papih setiap hari ngantor, pulang ke rumah paling cepat jam 7 malam.
Wajar sih si mamih kesepian, tapi ya demi masa depan keluarga serta pengembangan bisnis keluarga besar, harus ada yang dikorbankan.
Setelah bincang pagi di meja makan aku bergegas kembali ke kamar, menghindari mamih juga. Sebetulnya aku kangen sama mamihku ini, tapi kadang kalau sudah asik ngobrol bisa merembet kemana - mana. Soal jodoh - jodohan itu salah satunya.
Kuputuskan untuk istirahat sebentar.
Jam 10 lewat aku sudah bangun, lebih fresh rasanya. Lelahku sudah jauh berkurang.
Aku berpikir, olahraga ringan sepertinya oke.
Tidak perlu berat - berat. Yang penting badan bergerak aja pikirku.
Aku mengganti bajuku dengan pakaian yang lebih cocok untuk workout.
Kemudian aku turun ke bawah menuju ruang fitness (gym kecil) yang ada di samping kolam renang. Ketika berjalan menuju gym, langkahku terhenti. Aku melihat pemandangan yang membuat jantung berdebar. Mamih sedang berolahraga di samping kolam renang. Sedang yoga lebih tepatnya.
Di atas matras berwarna biru. Mamih seperti sedang melakukan stretching yang entah apalah istilahnya di dunia yoga.
Pagi ini mamih mengenakan tanktop ketat bertali tipis dengan warna hitam. Bawahannya celana spandex ketat berwarna hitam senada dengan tanktop yang dikenakan.
Lekuk tubuh mamih nampak jelas. Aku baru menyadari ternyata mamihku ini masih menawan di usianya yang sudah menginjak kepala 4. Kulitnya yang putih serta masih terlihat kencang dengan buah dada yang membusung seperti menantang para pejantan yang memiliki nyali untuk mendapatkanya. Pesona mamih luar biasa. Aku seperti tersihir.
[Ilustrasi Mamih]
"Santo. Nak. Ngapain kamu berdiri di situ?" - tanya mamih membuyarkan lamunanku
"Eh. Iya mih. Santo mau workout dulu sedikit. Sekedar peregangan aja biar badan gak kaku." - jawabku
"Yaudah sini bareng mamih, kita yoga-an aja.." - ajak mamih
"Gak mih. Santo mau latihan di ruang gym aja." - kataku
Setelah menolak ajakan mamih, dengan langkah terburu - buru aku berjalan menuju ruangan gym tanpa menghiraukan omongan mamih lagi.
Di ruang gym aku melamun sebentar.
`Ah. Udah gila kali aku. Masa iya nafsu sama nyokap sendiri. Kaya gak ada cewek lain aja. Durhaka namanya ini sih.` - pikirku
Aku lantas memulai olahraga sekaligus menjauhkan pikiranku dari hal - hal negatif.
Selesai berolahraga aku bergegas kembali ke kamar. Mandi aja lah pikirku. Sekalian ngilangin pikiran jorok. Mamih terlihat juga sudah selesai yoga dan sedang merapikan peralatan yoganya.
Ketika sedang naik ke atas tidak sengaja aku melihat Bik Larsih sedang menyetrika pakaian. Bik Larsih masih mengenakan daster yang kulihat dikenakannya tadi pagi. Posisi Bik Larsih berdiri membelakangiku. Bokong besarnya menonjol tidak mampu disembunyikan dasternya meski daster yang dipakai Bik Larsih bisa dibilang longgar.
[Ilustrasi Bik Larsih]
Aku menelan ludah.
Rambut Bik Larsih diikat dan dicepol ke atas.
Kulihat tetesan keringat mengalir dari leher bagian belakang ke punggungnya.
Tiba - tiba aku teringat momen mamih yoga di pagi hari.
Penisku ngaceng.
Pikiran jorok yang sudah kualihkan melalui olahraga, kini kembali bahkan dengan skala yang jauh lebih besar.
Tidak hanya Bik Larsih yang berkeringat, aku pun berkeringat karena bingung mesti kuapakan si kawan yang sudah tegang menuju sempurna ini.
`Apa aku minta service aja ya sama Bik Larsih.` - lamunku
Setauku Bik Larsih janda. Sudah sepuluh tahun. Janda anak satu. Anaknya sendiri tidak dibawa ke Manado, dititipkan kepada orang tua Bik Larsih di kampung di pulau Jawa sana.
`Tapi apa gak nurunin pasarku nanti ya ya. Secara fisik, Bik Larsih jauh dari kata cantik. Badannya pun gemuk. Kulitnya juga eksotis, kalau tidak mau dibilang gelap.` - pikirku
Aku berpikir keras. Serasa berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, birahiku yang tadi pagi menyala kini malah semakin terbakar. Di sisi lain, terlalu beresiko apabila aku ada main sama pembantu sendiri.
Ya banyak lah hal buruk yang bisa terjadi nantinya.
Dua menit aku berpikir,
`Ah. Fuck lah. Ngapain dipikirin sekarang. Gimana nanti aja lah. Aku butuh pelampiasan saat ini juga. Gak mungkin aku onani. Terakhir aku onani mungkin sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat kelas tiga SMP. Setelah itu aku gak pernah lagi menggunakan metode manual ini. Sejak SMA aku sudah mengenal dunia seks. Ditambah hidup 6 tahunan di Jepang, boleh dibilang aku sudah sex active sampai dengan saat ini. Tentu saja coli sudah tidak menarik buatku. Kecuali tangan perempuang yang melakukannya.`
Dipikir berapa Kali pun percuma. Aku memberanikan diri melangkah mendekati Bik Larsih.
"Ehem.." - sapaku dengan berdehem
"Eh Aden..." - sapa Bik Larsih
"Banyak setrikaannya Bik? Capek ya?" - tanyaku berbasa - basi
"Iya Mas. Gak capek kok, kan udah biasa begini mah.." - jawab Bik Larsih
Aku mengambil kursi lipat lalu duduk di sebelah Bik Larsih yang sedang berdiri. Dengan posisi sedekat ini, aroma keringatnya menusuk hidungku. Ada aroma tak sedap namun gak bisa dibilang bau kaya kuli atau kernet angkot juga sih. Justru aroma tubuh Bik Larsih ini semakin membuatku keblingsatan.
Kuperhatikan tubuh Bik Larsih dari atas ke bawah. Jengkal demi jengkal kunikmati
`Fix ini mah. Mesti kutaklukan si Bik Larsih.` - ucapku dalam hati
1 menit
2 menit
3 menit
4 menit
5 menit sudah aku terdiam. Bingung mau mulai darimana. Bik Larsih pun masih sibuk menyetrika baju.
`Gak mungkin kan tiba - tiba aku remas bokong besar Bik Larsih. Atau kulucuti dasternya, kubuka celana dalamnya lalu kurudal paksa vagina Bik Larsih. Yang ada teriak dia, rusak sudah.`
`Atau langsung kuminta aja Bik Larsih ya. Tapi kalau dia mau, kalau enggak gimana? Malu berat lah!`
`Duh. Stuck nih. Gak ada ide.`
Aku terus melamun sambil berpikir.
"Den, Aden.. Mas Santo.." - panggil Bik Larsih membuyarkan lamunanku
"Kok diem? Aden ngelamunin apa?" - tanyanya
"Eh.. Enggak Bik, gak ngelamunin apa - apa.." - jawabku
"Hehe.." senyum tipis tersungging dari bibir Bik Larsih yang mungil namun tebal
"Maaf ya den.. Bibik lagi nyetrika dulu, tanggung dikit lagi.. jadi gak bisa banyak ngobrol.. Aden ada perlu apa? Mau makan lagi? Kayanya Mbak Surti udah masak, atau Aden mau dimasakin yang lain tinggal bilang Mbak Surti aja den.." - ucap Bik Larsih
"Gak Bik. Aku belum laper lagi. Lagi bingung aja mau ngapain. Aku nemenin Bik Larsih disini aja dulu, gapapa Bik Larsih lanjut aja dulu nyetrikanya.." - kataku sekenanya
"Iya den.. gapapa kok.. tapi Bibik lagi nyetrika gini.. keringetan.. bau asem.. gak enak sama Aden.." - kata Bik Larsih
"Ah gapapa kok Bik.. gak bau kok.." - ucapku setengah berbohong
Dibilang bau banget sih enggak, tapi tetep ada sesekali aroma menyengat Bik Larsih tercium di hidungku. Aroma yang bukannya bikin ilfeel malah semakin membangkitkan kelaki-lakianku.
Bik Larsih tetap melanjutkan kegiatan menyetrikanya.
Lima menit berlalu kulihat Bik Larsih hampir selesai menyetrika. Iseng aku ajak ngobrol Bik Larsih kembali.
"Abis nyetrika mau ngapain Bik?" - tanyaku
"Mau nyapu ngepel lantai dua dulu sih den rencananya. Abis itu mau beresin pakaian Aden yang ada di koper, tadi disuruh nyonya." - jawab Bik Larsih
`Wah. Pas ini. Kalau mau beresin pakaianku berarti Bik Larsih nanti mesti ke kamarku. Koperku ada dua, besar - besar ukurannya. Butuh waktu pasti buat ngeberesin. Siapa tau nanti bisa aku godain dia.`- gumamku dalam hati
"Kamarku sekalian mau disapu sama dipel Bik?" - tanyaku lagi
"Iya sekalian den nanti" - jawabnya singkat
"Yaudah kalau gitu kamarku belakangan aja. Jadi abis dipel Bibik bisa langsung sekalian beresin pakaian aku." - ucapku
"Loh. Sama aja atuh den. Kan sebelum beresin pakaian Aden Bibik tetep musti cuci tangan dulu. Kalau gak nanti pakaian Aden bisa kotor." - jawab Bik Larsih
`Waduh. Iya juga. Kok aku jadi bodoh gini. Memang orang kalau nafsu udah diubun - ubun, logika jadi susah main.` - pikirku
"Iya Bik. Yaudah aku balik ke kamar dulu. Nanti kalau udah mau disapu sama dipel kasihtau aja Bik." - ucapku sembari beranjak kembali ke kamar
"Iya Aden.." - jawab Bik Larsih singkat
Setengah jam kemudian ..
^tok.. tok.. tok..^ - pintu kamarku diketuk
"Aden, ini kamarnya mau Bibik sapu sama pel.." - terdengar suara yang kutau itu Bik Larsih
"Oh.. iya bik.. masuk aja.. gak dikunci kok.." - jawabku dari dalam kamar
Bik Larsih membuka pintu kemudian masuk ke dalam kamar dengan membawa peralatan bersih - bersihnya.
Aku berbaring di kasur. Karena pikiranku udah kotor, sengaja aku cuma memakai boxer tanpa celana dalam, aku juga bertelanjang dada. Siapa tau dengan begini, Bik Larsih terpancing.
Sembari bermain handphone melalui ekor mataku, kuperhatikan Bik Larsih melirikku sesekali.
`Hmm.. Mulai masuk nih strategi..` - pikirku
"Aden ini Bibik sapuin teras balkon dulu ya. Jadi nanti pas Bibik beresin kamar, Aden bisa nunggu di teras balkon aja." - kata Bik Larsih
"Oh. Iya Bik." - jawabku singkat
Selesai membereskan teras balkon, Bik Larsih masuk kembali ke dalam kamar.
Aku lantas mengambil minuman dingin dari kulkas kecil yang ada di dalam kamar. Kulirik sesekali, ternyata Bik Larsih sedang memperhatikanku. Memperhatikan tonjolan yang ada di balik boxerku.
`Masuk nih barang` - pikirku
Setelah mengambil minuman, aku menuju teras balkon untuk menunggu Bik Larsih membersihkan kamarku.
"Nanti beresin kasurnya dulu aja Bik. Di luar panas soalnya, jadi nanti aku nunggunya di kasur aja." - ucapku
"Emang gapapa den? Takut banyak debu. Atau Aden nunggu di ruang santai aja, udah Bibik beresin juga." - kata Bik Larsih
"Ah gapapa Bik. Aku mager. Pengen di dalem kamar aja. Gapapa Bibik beresin aja sembari aku tiduran di kasur." - jawabku
"Iya Aden.." - ucap Bik Larsih
Lima belas menit aku nunggu di teras balkon. Sembari menyusun skenario buat menaklukan Bik Larsih. Seharusnya menaklukan Bik Larsih ini jauh lebih mudah dibanding cewek pada umumnya. Bukan sebatas perkara fisik dimana Bik Larsih lebih inferior dibandingkan cewek - cewek cantik diluaran sana, tetapi alasan yang lebih kuat adalah status dan posisi dimana Bik Larsih ini kan dipekerjakan oleh keluargaku. Nasibnya, sumber pendapatannya ya dari keluargaku. Pahit - pahitnya kalaupun ketahuan yang diusir dari rumah sudah pasti Bik Larsih.
Tapi ya balik lagi. Justru perbedaan status dan posisi serta kualitas fisik yang bak bumi dan langit ini hal yang harusnya mudah menjadi sulit. Gimana caranya supaya aku gak keliatan mupeng meski nafsu sudah maksimal.
"Aden.. kasurnya udah diberesin nih.." - ujar Bik Larsih yang menghampiriku ke teras balkon
"Oh. Iya Bik." - ucapku singkat seraya kembali ke kamar
Si ular kobra putih milikku yang ada di balik boxer masih berdiri tegak. Bayangan - bayangan untuk menikmati tubuh Bik Larsih masih terus menyelimuti pikiranku.
Saat menuju kembali ke dalam kamar, sekilas kulihat kulit Bik Larsih yang semakin mengkilap. Entah mungkin cuma perasaanku saja atau memang karena udah nafsu berat, kulit mengkilap karena keringat tersebut terlihat seksi di mataku.
Aku duduk di kasur sembari bermain handphone. Udah segala macam kulakukan. Nonton video, baca artikel, dll namun aku sama sekali gak fokus dengan handphoneku. Aku cuma pengen nafsu ini terlampiaskan.
Aku tau Bik Larsih semakin sering melirik. Apalagi bentukan tenda di boxerku.
Janda anak satu ini sedikit banyak pasti mulai bernafsu juga. Sepuluh tahun menjanda pasti berat rasanya. Apalagi di usia Bik Larsih yang masih panas - panasnya. Entah gimana dia melampiaskan nafsu birahinya. Bisa jadi dengan pegawai lain di rumahku juga.
Ahh gak penting juga buat dipikirin.
Tapi mengingat posisinya sebagai ART, gak mungkin secara terang - terangan Bik Larsih memintaku menyetubuhinya. Iya kalau aku mau, kalau enggak yang ada ngerusak kerjaan dia kan, pasti dia mikir seperti itu. Paling maksimal ya dia kasih kode - kode supaya aku yang inisiatif duluan.
Salah satunya ya ini, sembari beresin kamar, sembari lirik - lirik tenda sementara di boxerku ini.
Ketika sedang menyapu di sisi kiri tempat tidur, mata kami bertatapan. Gak lama. Sekitar lima detik. Tapi itu cukup untuk membuat jantung kami berdua berdetak kencang. Aku sadar, Bik Larsih pun kurasa juga menyadarinya.
Kemudian Bik Larsih meminggirkan sapu ke tembok. Ia membetulkan kunciran rambutnya. Agak terlalu lama Bik Larsih membetulkan kunciran rambutnya.
Seakan memberikan aku kode.
`Ayo den. Setubuhi Bibik den. Bibik milik Aden.` - begitu aku membayangkan atau mengharapkan apa yang ada di pikiran Bik Larsih
Aku tersengat. Ketika menengok ke sisi kiri. Bik Larsih yang masih membereskan kuncirannya, kepala Bik Larsih menengadah ke atas. Kedua tangannya terangkat.
Pemandangan di depanku membuat aku semakin pusing. Penisku semakin keras.
Bagaimana tidak. Dua bongkah payudara besar membusung di hadapanku. Ketiak Bik Larsih yang aromanya menyengat terpampang di hadapanku. Di luar dugaan ketiak Bik Larsih cukup bersih. Ketiak tembam tanpa rambut dengan warna kulit yang lebih cerah dibanding kulit lainnya. Dengan garis - garis lipatan yang semakin menambah keseksian ketiaknya.
Ingin rasanya langsung kuterkam pembantuku ini. Kujilat buas ketiaknya yang membuat nafsu itu. Tapi kutahan diri. Aku gak boleh ceroboh. Logika sudah diujung tanduk memang, tapi meski cuma sepersen, logika tetap harus dimainkan.
Akhirnya aku berhenti memandang Bik Larsih, tetap memasang mode stay cool meski birahi sudah meninggi.
Melihat aku tidak merespon pancingannya. Bik Larsih melanjutkan aktivitas bersih - bersihnya. Nampak sedikit raut wajah kecewa di dirinya.
`Fix ini. Bik Larsih juga pengen` - pikirku
Aku rasa ini sudah lampu hijau. Meski tanpa kata, kami berdua seperti sudah memberi izin satu sama lain untuk memulai hubungan senonoh ini.
Sekitar 20 menitan Bik Larsih selesai membersihkan kamarku.
"Aden.. Bibik udah kelar beresin kamarnya. Bibik cuci tangan dulu ya baru beresin pakaian Aden.." - ucap Bik Larsih
"Iya bik" - jawabku singkat
Saat Bik Larsih pergi ke kamar mandi untuk cuci tangan, sekilas aku teringat kapan terakhir kali aku melakukan hubungan badan. Kurang lebih sebulan lalu. Dengan mantan pacarku yang merupakan warga negara Jepang.
Saori namanya. Saori Michihara. Kami berdua sepakat menyudahi hubungan kami setelah kusampaikan kepadanya bahwa aku hendak kembali ke Indonesia. Aku dan Saori bukanlah tipe yang percaya kepada hubungan jarak jauh (LDR -red).
Aku bertemu Saori di kampus. Dia adalah adik kelasku. Usianya 2 tahun di bawahku.
Kami berpacaran kurang lebih 3 tahun lamanya. Aku lah yang pertama kali mengambil mahkotanya. Banyak orang yang membayangkan kalau orang asing mendekati cewek Jepang itu sulit. Tapi kenyataannya tidak. Justru orang asing lebih mudah untuk mendapatkan cewek Jepang karena di Jepang sendiri, cowok - cowoknya sedikit apatis dan skeptis terhadap hubungan romantisme. Mereka hanya terfokus ke karir karir dan karir. Terlihat dari angka kelahiran (birth rate) di Jepang yang semakin turun setiap tahunnya.
Tak lama kemudian Bik Larsih keluar dari kamar mandi lalu mulai membereskan pakaianku. Aku menghampirinya, membantu membereskan sekaligus memilah mana yang harus dicuci kembali di rumah atau mungkin di bawa ke laundry.
Saat membereskan pakaian, secara tidak sengaja (paling gak menurutku), kulit kami bersentuhan. Kulit Bik Larsih yang agak lengket karena keringat tersebut malah membuat aku bergidik. Senjataku yang masih berdiri tegak terasa semakin tegang.
Kulit kami bersentuhan kembali. Kali ini sepertinya Bik Larsih sengaja. Bik Larsih seperti memberikan kode. Tapi aku Masih belum bertindak lebih jauh.
Ketika hendak mengambil pakaian yang ada di sisi Bik Larsih duduk, lengan kiriku menyenggol buah dadanya. Sepertinya Bik Larsih sengaja memajukan badannya supaya buah dadanya ini tersenggol.
Kode - kode ini sepertinya sudah semakin jelas, kalau aku gak sambut yang ada hal yang aku inginkan malah tidak terjadi.
Kedua kalinya lengan kiriku menyenggol payudara Bik Larsih. Kali ini sengaja kudiamkan disana. Bik Larsih pun tidak menarik dirinya. Tangan kiriku bergerak maju mundur menggesek payudara Bik Larsih yang masih terbungkus bra dan dasternya sembari memilah baju seolah begitu natural.
Sekilas aku menengok ke kiri, mata Bik Larsih separuh terpejam. Bik Larsih menggigit bibir bagian bawah kirinya seolah menikmati perlakuanku.
Aku pun mulai terhanyut dalam situasi ini.
Kebanyakan mikir malah bingung mau ngapain. Strategi segala macam tidak ada guna tanpa eksekusi. Kalau tidak ada inisiatif sama sekali, yang ada malah basi.
Take it or leave it. Begitu pikirku.
Tangan kananku sedikit bergetar ketika aku nekat meremas payudara kiri Bik Larsih.
Bik Larsih kaget. Entah betul kaget atau pura - pura.
Bik Larsih membuka matanya,
"Aden.. ngapain.." - tanyanya lirih
Aku tidak menjawab. Aku anggap pertanyaannya hanyalah basa basi. Kalau memang dia keberatan, gak mungkin Bik Larsih diem aja ketika aku remas payudaranya.
Kulanjutkan aktivitasku. Kuremas lembut payudara kirinya berulang kali.
Bagiku, situasi sudah sangat mendukung. Harus dieskalasi.
Aku meraih tali daster Bik Larsih. Kuturunkan tali daster bersamaan dengan tali bra Bik Larsih. Lalu kuturunkan cup bra Bik Larsih.
^tuing^ - bongkah payudara kiri Bik Larsih tampil ke permukaan
Besar. Itu kesan pertamaku melihat payudaranya. Bukan payudara pertama yang pernah kulihat dalam hidup. Juga bukan yang terindah. Tapi tetap membuatku menelan ludah.
Aku perhatikan dengan seksama sebelum memulai aksiku. Sampai saat ini, wajahku dan Bik Larsih belum saling bertemu lagi.
Payudara Bik Larsih tidak begitu kencang tapi gak bisa dibilang kendor juga. Masih memukau untuk ukuran cewek seusianya yang sudah memiliki anak usia beranjak remaja. Puting Bik Larsih juga besar. Warnanya cokelat gelap dengan aerola yang menurutku tidak terlalu lebar mengelilingi putingnya.
Puas memperhatikan. Aku melanjutkan aktivitasku. Kugenggam payudaranya. Tanganku gak muat. Kuremas lembut beberapa kali. Lanjut aku memainkan putingnya. Kugesek - gesek lalu perlahan kupelintir puting menggemaskan ini.
^ugh....^ - Bik Larsih melenguh
Tiba - tiba kurasakan tangan Bik Larsih meremas lengan kiriku. Kutepis pelan lengan kirinya lalu dengan cepat kuloloskan tali daster dan bra bagian kanannya. Kedua bongkah payudara Bik Larsih terpampang jelas di hadapanku.
^glek..^ - aku menelan ludah
Kali ini kedua tanganku meraba, meremas payudara memlintir puting Bik Larsih dengan intensif.
^augh.. shh.. euughh..^ - terdengar suara desis dan lenguhan Bik Larsih
Ingin rasanya kutelanjangi Bik Larsih lalu langsung kotojos vaginanya dengan torpedo kebanggaanku. Tapi aku harus telaten dan membuat Bik Larsih hanyut dan takluk terlebih dahulu.
Tangan kanan Bik Larsih menjelajah boxerku. Senjataku digenggamnya.
Buatku, ini kode untuk bertindak lebih jauh.
Kudekati bagian dadanya. Kuhirup aromanya dalam - dalam. Agak sedikit kecut. Namun reaksi kimia yang dihasilkan justru membuat nafsuku semakin intens.
Tanpa sadar, mulutku sudah mulai menjelajah di payudara kiri Bik Larsih. Tangan kiriku masih meremas dan bermain dengan puting kanannya. Tangan kananku meremas - remas payudara kiri Bik Larsih, mulutku asik menghisap putingnya. Dengan ujung lidah, aerola Bik Larsih mulai kusapu. Kujilat pelan dari aerola lalu merangsek ke putingnya. Ketika ujung lidahku bertemu dengan ujung putingnya Bik Larsih melenguh.
"Aden....." - ucap Bik Larsih lirih
"Sshhh.. ah.." - Bik Larsih mendesis
Kunikmati titik demi titik puting kiri Bik Larsih. Kujilat. Kuhisap. Kugigit pelan putingnya. Tak terasa tangan Bik Larsih sudah masuk ke dalam boxerku. Bik Larsih mengocok penisku dengan kencang.
Aku lupa menyalakan AC. Keringat kami mulai bercucuran. Adegan erotis yang tidak semestinya ini, membuat kami lupa diri.
Puas dengan bagian kiri, mulut dan lidahku menjelajah ke bagian kanan. Kuperlakukan sama seperti sebelah kiri. Bergantian kiri dan kanan kunikmati setiap jengkal payudara Bik Larsih. Aku masih ingin disini. Belum mau masuk ke tahap selanjutnya. Meski birahi sudah tinggi, aku masih ingin menikmati payudara besar ini.
Sepuluh menit aku menari - nari di kedua bongkah payudara Bik Larsih, tangan kananku melancarkan aksi selanjutnya.
Kusingkap bagian bawah dasternya. Kutarik sampai ke atas pinggang. Kuraba mahkota Bik Larsih dari luar kancut / cangcut (celana dalam -red) katunnya.
Hangat.
Sudah sangat basah juga.
Tanda bahwa Bik Larsih menikmati persenggamaan ini.
Kuraba - raba dan kutekan - rekan vagina Bik Larsih yang masih terbungkus cangcut nya. Cairan kewanitaan Bik Larsih makin mengalir deras.
^oh.. uh.. augh.. sshh.. ah.. uh.. ah..^ - Bik Larsih meracau, melenguh, mendesis
Sepertinya Bik Larsih sudah rindu sekali disentuh laki - laki. Baru begini saja dia sudah kelojotan. Bik Larsih menarik paksa boxerku hendak meloloskannya. Kubantu agar lebih mudah.
Si gagah akhirnya muncul. Senjata andalanku. Torpedo berukuran 16 x 4 cm ini menyeruak kesunyian.
Kuhentikan dulu kegiatan mulutku di payudara Bik Larsih, aku menengadah ke atas. Kami bertemu pandang.
Matanya sudah sayu. Bik Larsih menggigit bibirnya seakan memberi kode supaya birahi ini tertuntaskan.
"Aden.. Ini tititnya gede amat.." - ucap Bik Larsih parau
Jujur aja, aku gak ngerti ukuran penis itu panjang atau pendek, besar atau kecilnya seberapa. Selama ini, pengalamanku sih fine - fine aja. Ada yang memuji besar ada yang memuji panjang. Ada juga yang gak kasih komentar apa - apa. Kalau Saori bilang malah, ini pas. Gak kurang gak lebih. Cukup lah katanya.
Aku melanjutkan aktivitasku. Tidak kupedulikan komentar Bik Larsih.
Kugigit kecil payudara kanan Bik Larsih. Di bagian bawah, jariku mulai merangsek. Kusibak bagian bawah cangcutnya. Terasa jembut Bik Larsih yang lebat di bagian pubik, namun di area vaginanya tidak terasa ada jembut yang mengganggu.
Aku sudah tidak tahan. Kuraba vaginanya dengan antusias. Kumasukan jari tengahku ke dalam vaginanya secara pelan. Setelah masuk semua kudiamkan beberapa detik, kembali secara perlahan kutarik keluar jari tengahku.
^uggghhhhhh........^ - Bik Larsih melenguh panjang
Dengan jempol tangan kanan, kucari sebuah bijik titik lemah perempuan alias kelentit (itil -red). Setelah kutemu, kutekan dengan jempolku.
^eughhhhh......^ - kembali terdengar lenguhan Bik Larsih
Berulang kali jari tengahku keluar masuk menjelajah vagina Bik Larsih bersamaan dengan jempolku menekan dan menggesek kelentit Bik Larsih. Tangan kiriku masih meremas payudara kanan Bik Larsih, mulut dan lidahku menari di payudara kirinya.
"Aden... Ughhh... Aden... Endakk... Ughhh... Sshhh... Aden... Ouh..." - Bik Larsih meracau hebat, tangannya semakin cepat mengocok penisku
^tok.. tok.. tok..^
"Santo.. Nak.." - suara mamih memanggil saat mengetuk pintu
__End of Episode 2