Episode 7
"Teman Lama"
POV Pak Usep
Selasa, 25 Oktober 2022
Pukul 10:42
"Woy. Bengong aja kau Usep." Abas membuyarkan lamunanku
__________________
Monolog Pak Usep
------------------
Basuki nama aslinya, panggilannya Abas. Rekanku sesama driver. Hanya kami - kami lah yang memanggilnya Abas, sementara atasan dan orang kantor pasti memanggilnya pak Basuki. Usianya dibawahku, tapi sudah kepala empat, 45 tahun tepatnya.
Abas adalah driver di perusahaan sementara aku supir pribadi Pak Franz. Ah, malas aku manggil dia bapak. Bukan karena aku orang jahat atau pribadi yang tidak sopan, aku hanya sudah hilang respek terhadap majikanku ini.
Usiaku menginjak 51 tahun di tahun ini, istriku, Surti, usianya 43 tahun, juga dipekerjakan oleh keluarga Franz sebagai ART di rumahnya. Sudah lama aku bekerja kepada keluarga Franz. Awalnya Surti terlebih dahulu bekerja di sini. Waktu itu aku masih bekerja di tempat lain.
Surti ikut keluarga Franz sejak ia lulus sekolah 25 tahun lalu, waktu itu Surti bekerja kepada Ayah Franz, pak Kristian. Semenjak Franz menikah dengan bu Tasya, Surti diamanatkan oleh pak Kristian untuk melayani mereka.
Aku bertemu Surti ya karena keluarga Franz ini juga. Ketika itu aku sudah bekerja sebagai driver di perusahaan Grup Mandey, kurang lebih tahun 1998. Selama bekerja sebagai driver disana, aku beberapa kali bertemu Surti. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Surti. Kami pacaran lalu tidak lama setelah pacaran, kami menikah di tahun 1999. Anak pertama kami laki - laki lahir tahun 2000. Anak kedua kami perempuan lahir tahun 2002. Sri namanya. Saat ini, Sri mengikuti jejak kami bekerja kepada keluarga Franz.
Mengapa aku hilang respek kepada Franz? Jawabannya sederhana. Franz sudah bertindak terlalu jauh.
Seperti hari ini.
Semenjak hari itu, Franz rutin datang ke rumahku untuk menyetubuhi putriku satu - satunya, Sri.
Yang lebih gilanya mungkin karena itu atas seizin aku dan Surti.
Iya. Sri adalah simpanan majikanku. Obyek pelampiasan nafsunya.
Bukan salah putri kami. Sudah pasti salah kami sebagai orang tuanya. Meski kami juga ikut menyalahkan Franz majikan kami itu.
Namun kami tidak memiliki pilihan pada saat itu. Masalah finansial lah yang menjadi penyebabnya. Belum lama, masih di tahun ini juga.
Kami memiliki hutang dengan nominal yang sangat besar. Hampir mendekati 100 juta rupiah. Jangan tanya kenapa kami bisa berhutang sebesar itu, inilah hidup, tidak ada yang tahu kapan jatuh dan bangunnya.
Bukan. Kami bukan lah manusia sejahat itu. Bukan kamilah yang menawarkan anak kami kepada Franz. Dia sendirilah yang memintanya.
Kami kaget. Awalnya aku dan Surti datang ke hadapan Franz untuk meminta bantuan. Apa saja akan kami lakukan supaya bisa dapat pinjaman 100 juta rupiah. Potong gaji habis - habisan setiap bulannya juga tidak apa - apa.
Itulah kesalahan terbesar kami. Seharusnya kami datang ke bu Tasya, bukan kepada Franz. Iya betul. Bu Tasya adalah istri Franz, dia baik, sopan, perhatian, royal dan tidak perhitungan. Maka kami masih respek kepadanya. Lain halnya kepada suaminya.
Kami pikir karena Franz adalah kepala keluarga dan selama ini melihat sifat dan sikapnya yang baik - baik saja, serta karena kami bekerja di rumah ini berasal dari sisi keluarga Franz maka kami datang ke hadapannya untuk minta bantuan, bukan kepada bu Tasya.
Franz menyambut kedatangan kami dengan baik awalnya. Permintaan kami didengarnya. Namun ia beralasan bisnis sedang kurang bagus, uang sebesar itu sulit untuk dikeluarkannya. Kami tahu itu bohong.
Keluarga Franz (keluarga Mandey) adalah orang terpandang di kota ini, bahkan di provinsi ini, mungkin juga di negara ini. Mereka adalah orang kaya. Usahanya dimana - mana. Tidak perlu bicara mengenai aset seperti tanah, rumah, kantor, atau bisnisnya. Jam tangannya saja sudah pasti ratusan juta harganya kalau tidak mau dikatakan miliaran. Franz santai - santai saja di rumah, ratusan juta rupiah pasti masuk ke kantongnya setiap hari.
Kami berdiskusi, mempersuasi dan negosiasi dengan Franz. Dia tetap enggan. Sampai ucapan sampah itu keluar dari mulutnya.
Tawaran laknat dari manusia bejat. Manusia yang awalnya kami kira adalah malaikat.
Tentu saja kami menolak. Orang tua mana yang dengan ikhlas mengorbankan masa depan anaknya semudah itu.
Hari ke hari sejak kami menolak berjalan seperti biasanya. Kami tetap bekerja kepada Franz. Namun kondisi kami semakin buruk saja. Pemberi hutang menagih setiap hari. Sampai pada puncaknya dia mengancam kami dengan membawa preman. Aku menjadi ketakutan. Kalau aku saja takut, apalagi keluargaku.
Pembahasan tersebut muncul kembali antara aku dan Surti. Akulah yang pertama kali memulainya. Bapak macam apa aku ini. Tapi aku sudah tidak punya pilihan. Hanya itu yang terpikir di otakku. Aku berdebat dengan Surti, istriku. Pembahasan pertama stagnan, tidak ada keputusan.
Surti akhirnya menyerah. Ancaman pihak kreditor semakin nyata. Penagih hutang datang setiap hari ke rumah. Awalnya beberapa barang kami disita. Namun tentu saja tidak akan cukup. Berapalah harga televisi, kulkas dan sepeda motor jika ditotal. Jauh dari angka 100 juta. Pemicu terbesar adalah ketika penagih hutang mengancam akan membawa Sri sebagai jaminan.
Maju kena mundur kena di pikiran kami berdua. Sama saja hasil akhirnya. Sri yang menjadi korban.
Ingin rasanya aku mati saja saat itu. Aku bahkan mengatakan kita pulang ke tanah Jawa untuk menghindari hal ini. Namun Surti mengatakan, apa yang akan kita lakukan disana? Bagaimana kalau kejadian terulang? Atau masalah lain timbul?
Setidaknya disini. Ada keluarga Franz yang bisa menolong. Kalau di Jawa, sama juga bohong Surti bilang.
Dengan berat hati akhirnya aku dan Surti mengajak Sri mengobrol.
Sri memang anak yang berbakti. Sri bersedia mengorbankan dirinya dan masa depannya demi keluarga. Tangisanku dan Surti pecah. Kami tak kuasa memandang putri kami itu.
Akhirnya terjadilah. Sri yang memang sedari dulu adalah anak yang polos dan lugu, memberikan kehormatannya kepada Franz.
Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Menyesali ketidakberdayaanku.
Kami pikir, itu hanyalah sekali. Rupanya kenyataan berkata lain. Franz menginginkan Sri untuk seterusnya.
Apa lacur, nasi sudah menjadi bubur. Sri pun tidak keberatan. Franz memang licik, otaknya picik.
Memang dari luar kelihatannya baik. Sri dipekerjakan di rumahnya. Gajiku dan Surti diberikan kenaikan, alasannya karena pengabdian dan performa yang bagus. Menjijikan. Namun sudah terlanjur basah, kami pasrah. Daripada tidak sama sekali.
Kalau dipikirkan, memang jauh lebih baik Sri menjadi simpanan Franz dibanding pacaran atau bahkan menjadi mainan lelaki tidak jelas.
Tetap saja. Bagiku ini sudah melanggar norma. Franz sudah terlalu jauh. Hilang sudah respekku kepadanya.
------------------
"Kau mikirkan apa Sep?" tanya Abas
"Gak ada Bas" jawabku
Aku bohong. Banyak hal yang kupikirkan. Memang hutang sudah lunas. Tapi dendam belum terbalas.
Awalnya aku hendak melaporkan hal ini ke bu Tasya. Bukti ada dan lengkap. Pasti hancur kubuat si Franz ini, begitu pikirku.
Tapi setelah berpikir berulang kali, itu adalah tindakan bodoh. Yang paling dirugikan tentu adalah kami. Sudah pasti kami bertiga dipecat. Kalau sudah begitu, mau makan apa esok hari? Ini cuma menambah masalah baru, pikirku.
Sementara meski kami laporkan ke bu Tasya, tidak ada jaminan rumah tangga mereka terpecah. Bisa malah tetap baik - baik saja. Bahkan entah apa yang akan dilakukan Franz terhadap kami selanjutnya. Melawan orang kaya dan berkuasa tidak bisa sembarangan. Salah langkah, mati konyol dibuatnya.
Ada satu hal yang terlintas di benakku.
Gimana kalau istrinya saja yang kukerjai?
Bu Tasya sebenarnya adalah orang baik. Seperti tadi kubilang. Dia baik, sopan, ramah, loyal juga dan tidak perhitungan. Namun justru bu Tasya lah kelemahan terbesar Franz.
Bisa kubayangkan betapa hancur hatinya jika aku melakukan hal yang tidak senonoh dengan bu Tasya.
Ide yang bagus. Namun sangat jahat, pikirku.
Sejujurnya aku bingung dengan si Franz ini. Buat apa dia cari simpanan? Buat apa dia selingkuh?
Bu Tasya, istrinya, bahkan jauh lebih menarik dibandingkan Sri, anakku. Usianya boleh sepantaran dengan Surti. Namun fisiknya seperti gadis perawan di usia matang.
Sebagai laki - laki biasa, jika aku pasti memilih bu Tasya dibandingkan perempuan lain. Jangan bicara soal istriku Surti, lain cerita itu.
Cantik menarik, anggun mempesona, fisik sempurna, auranya menggoda. Kata - kata itulah yang bisa menggambarkan seperti apa bu Tasya.
Sudah sering aku melihat perempuan cantik. Dari setingkatan Tuti, salah satu pembantu di rumah Franz sampai sosok perempuan modern dan modis seperti karyawan grup Mandey dan rekan bisnis Franz. Namun, tidak ada satupun. Tidak ada satupun yang dapat menandingi kecantikan dan kemolekan bu Tasya.
Andai aku menjadi Franz. Tidak ada hari tanpa bu Tasya. Jangankan Sri. Supermodel Indonesia pun belum tentu membuatku berpaling hati. Bodoh memang si Franz ini.
Seandainya jadi aku balas dendam melalui bu Tasya, tentu tidak bisa dengan cara sembarangan. Juga tidak mungkin kuutarakan ke Surti. Bukan hanya marah, yang ada aku ditalak nanti.
Terpikir olehku. Seandainya kuperkosa bu Tasya, seperti sekali dayung dua tiga pulau terlewati. Aku akan seperti memegang kartu AS. Mengancam bu Tasya bisa. Memeras Franz juga bisa. Sudah begitu, aku bisa menikmati kemolekan tubuh bu Tasya.
Tiba - tiba tekadku menjadi bulat. Tapi harus dengan rencana yang cermat. Kembali aku terhanyut dalam imajenasiku siang itu.
------------------
POV Santo
Selasa, 25 Oktober 2022
Pukul 12:22
Bosan.
Itulah yang sedang kurasakan.
Saat ini aku sedang menikmati makan siang di rumah, berdua dengan mamih.
Dua hal yang membuatku bosan. Pertama adalah aku belum memiliki pekerjaan dan kegiatan tetap. Papih bilang sejak kemarin juga datang saja ke kantor, belajar - belajar, nanti diarahkan supaya mulai terbiasa.
Adalah mamih yang mencegah. Masih kangen katanya. Minggu depan saja. Kalau bisa awal tahun katanya.
Susah aku dibuatnya. Aku tidak mau menjadi anak yang durhaka. Aku sayang mamih. Permintaan sederhana seperti menemaninya bukanlah hal sulit. Namun tidak ada kegiatan seperti ini juga tidak enak.
Uang bukan masalah. Bahkan tanpa kekayaan keluargaku pun, aku masih bisa mandiri. Tabunganku masih mencukupi. Investasiku dimana - mana.
Papih mengiyakan saja permintaan mamih. Susah memang. Yasudah aku terima saja, meski bosan.
Yang kedua. Yang paling penting. Aku bosan dengan Bik Larsih. Sudah dua kali berhubungan seks dengannya termasuk malam tadi.
Iya. Aku ingin yang lain. Bik Larsih bagiku hanya sekedar cadangan saja.
Tapi siapa? Aku bahkan belum sekalipun reuni dengan teman - temanku. Pergi sendirian sekedar bersantai di coffee shop juga belum. Hanya sekali saja menemani mamih arisan. Itu pun aku tidak berkenalan dengan siapapun.
Mau tidak mau, suka tidak suka, di pikiranku hanya ada mamih.
Belakangan aku merasakan persaan yang tidak lazim. Aku memandang mamih bukanlah sebagai seorang ibu yang melahirkanku tetapi sebagai sosok perempuan dewasa yang cantik dan menarik.
Salah memang. Mau dipikir bagaimana perasaan seperti ini tidak bisa dibenarkan.
Tapi apalah kita manusia? Otak bisa berkata tidak, hati yang berbicara.
Hati? Yakin hati To? Aku bertanya kepada diri sendiri
Bukan nafsu? Di benakku seperti ada dua pihak yang saling bertentangan
Sedari kemarin memang seperti ada yang lain. Aku begitu protektif terhadap mamih. Seakan tidak rela, jika mamih dilirik lelaki lain.
Ya wajar dong anak protektif terhadap ibunya.
Iya wajar. Tapi yang kurasakan berbeda.
Manjanya mamih. Rangkulan lengannya. Kecupan lembutnya. Serta makan malam romantis itu. Masih tercetak jelas dalam ingatanku.
Jatuh cinta?
Ah, tidak mungkin.
Mungkin saja. Ah, ini gila.
"Santo.. Santo.. Kamu kenapa nak?" suara mamih seolah membawaku kembali dari imajenasi, menyudahi monolog pikiranku
Aku tersenyum, "gapapa mih.."
"Tapi kamu kok bengong gitu nak?" tanya mamih
Ah. Seandainya mamih tahu kenapa aku melamun seperti itu.
"Gapapa mih" jawabku
Aku yang ditarik oleh mamih dari ranah imajenasi malah dibuatnya semakin menjadi.
Bagaimana tidak?
Tanktop putih ketat, yang membuat belahan payudaranya yang indah terlihat jelas. Dibalut dengan kemeja putih kebesaran yang tidak dikancing serta celana pendek berbahan jeans, itulah yang menjadi outfit mamih saat ini.
Mamih
Aku yang tadinya tenang menjadi deg - degan. Perasaan yang hendak kutekan kini malah tumpah ruah.
Mamih tersenyum.
"Yasudah nak.. Temenin mamih belanja, mau?" tanya mamih
"Belanja apa lagi mih? Kemarin kan udah" tanyaku balik
"Belanja bulanan nak. Beda dong dengan kemarin." jawab mamih
Second date?
Ah. Yasudah. Kuturuti saja. Daripada bosan di rumah, pikiran kemana - mana. Bagus nemenin mamih belanja.
------------------
Selasa, 25 Oktober 2022
Pukul 14:07
Di Supermarket
Sepasang suami istri. Mungkin itulah pemikiran orang yang melihat kami di supermarket.
Dengan tampilan mamih, tidak akan ada yang menyangka kalau mamih adalah ibuku, wanita berusia paruh baya dengan anak yang sudah dewasa.
Sepanjang perjalanan di mobil, bahkan saat mengitari supermarket, mamih selalu merangkul lenganku. Hanya dilepas ketika mengambil barang belanjaan.
Sah - sah saja. Namanya juga ibu ke anak sendiri. Namun berbeda untukku.
Hatiku berbunga - bunga. Meski image tetap kujaga. Kecantikan mamih, kemolekan serta harum tubuhnya begitu mempesona semua mata, juga aku tentu saja.
Keasikan kami siang itu terjeda.
"Santo?" sesosok wanita muda menyapaku
"Nadia?"
__End of Episode 7